Monday, September 1, 2014

Bijak Memakai Antibiotik

Entah berapa kali Bobi, 28 tahun, harus terjaga dari tidurnya karena serangan batuk yang membuat tenggorokannya gatal bukan main. Sudah sepekan lebih ia ditemani penyakit yang kerap mampir ketika terjadi perubahan cuaca. Ia sudah meneguk obat batuk generik, tetapi derita itu tak kunjung berakhir. Biasanya, bila berlarut-larut seperti itu, Bobi mengkonsumsi antibiotik yang bisa dibelinya tanpa resep dokter di apotek. Dengan cara itu, kerongkongannya dengan cepat menjadi plong dan batuknya sirna. Bila sudah membaik seperti itu, ia pun berhenti menelan antibiotik.


Kasus di atas, menurut Ketua Indonesian Antimicrobial Resistance Watch (IARW), Profesor Robert Utji, sudah sejak lama dijalani masyarakat Indonesia. "Tanpa resep dokter, kemungkinan sembuh memang ada, tetapi tidak tuntas," katanya saat jumpa media Simposium ke-5 Indonesian Antimicrobials Resistance Watch (IARW), di Departemen Mikrobiologi Universitas Indonesia, pekan silam.


Pada penyakit batuk, antibiotik sebetulnya berperan bukan sebagai obat untuk batuk ataupun gejalanya. Antibiotik bekerja untuk meredakan infeksi yang menyebabkan atau disebabkan batuk. "Masalahnya, apakah dosisnya kurang atau lebih, mereka kurang tahu," ujar Utji. Patut dicamkan pula, antibiotik hanya mujarab meredakan infeksi akibat bakteri. Bukan virus, jamur, atau nonbakteri lain.

Lebih lanjut ia mengingatkan, kendati sudah merasa sehat, pemakaian antibiotik jangan dihentikan di tengah jalan. Aksi seperti itu bisa menyebabkan tidak semua kuman musnah dan membuat peluang bakteri resistan terhadap antibiotik tersebut. Di lain pihak, konsumsi berlebihan juga bakal menyebabkan kuman yang tidak terbunuh, bermutasi, dan menjadi kebal. "Kuman ini disebut super bug. Contohnya, stafilokokus aureus," ujar ahli mikrobiologi Universitas Indonesia Profesor Usman Chatib Warsa, dalam kesempatan yang sama.

Terdapat pula kecenderungan kuman tidak cuma kebal terhadap satu jenis antibiotik. Kuman ini dikategorikan sebagai multidrug-resistant organisms. Jika sudah ke tahap itu, kuman kerap lolos dari penetrasi sistem imunitas karena telah teralienasi dari tubuh sehingga sulit dikenali. Artinya, saat tubuh terinfeksi, baru dapat diobati dengan generasi antibiotik yang lebih kuat. "Kini pemakaian antibiotik generasi dua dan tiga telah marak walau pasien sakitnya ringan," ucap Usman.

Dahulu, penyakit infeksi mudah teratasi cuma dengan minum penisilin. Tetapi, dengan kehadiran ragam antibiotik generasi baru, seperti cephalosporin, dapat membunuh semua jenis bakteri di dalam tubuh, tetapi membuat kuman semakin kebal pula. "Jangan memakai antibiotik untuk penyakit batuk, flu, diare, bahkan demam berdarah," Usman menegaskan. Masalahnya, penemuan antibiotik baru tidaklah secepat meluasnya kejadian resistensinya.

Belum lagi, efek berantai ini berlanjut saat para peternak memakai antibiotik sebagai campuran pakan ternak mereka. Feses sapi atau ayam, yang mengandung kuman tertentu, akan meluas ke mana-mana. Bahkan, peternak ikan memakai antibiotik buat membunuh kuman dalam kolam. Di lain sisi, euforia antibiotik yang melibatkan pasien, rumah sakit, apotek, perusahaan farmasi, juga warung pinggir jalan, terus merebak. Tidak jarang resep antibiotik diminta si pasien sendiri.

Karena itu, dalam siaran persnya, Departemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia menyebutkan bahwa penyakit infeksi merupakan salah satu penyebab kematian utama di Indonesia. Dijelaskan Usman, banyak pasien meninggal diakibatkan kuman rumah sakit yang telah menyebar ke khalayak. "Pasien sudah kebal dengan antibiotik yang ada."

Profesor Utji mengutarakan, ada kasus anak meninggal disebabkan masalah resistensi kuman. Di salah satu rumah sakit swasta Jakarta pada 1990-an, terdapat pasien anak yang menderita infeksi darah. Setelah diperiksa darahnya, ditemukan kuman gram negatif. Lalu, diuji dengan antibiotik, hasilnya sebagian besar tidak bisa membunuh kuman yang bersarang itu.

Untuk menolong nyawa si anak, cuma ada tiga macam antibiotik, yaitu kinolon, aminoglikosida, dan beta-laktam. Namun, pertimbangannya begitu berat. Obat itu tidak boleh dipakai di bawah usia 18 tahun. Sebab, bisa menyerang tulang rawan dan ginjal. Belum lagi harganya yang selangit. "Asuransi kalau sudah begitu tidak mau bayar," ujar Utji.

Contoh semacam ini bukan tidak muskil merebak luas. Di Negeri Abang Sam, pada 1999 hingga 2004, kematian akibat infeksi mencapai 280 ribu jiwa. "Angka ini lebih tinggi dari angka kematian kasus flu burung dan HIV/AIDS," Usman mengungkapkan. Saking bahayanya, Australia menerapkan kebijakan, orang dengan multi-resistant tidak boleh masuk bangsal rumah sakit.

Di Indonesia sendiri, mantan Rektor UI ini mencatat, ada ratusan ribu kasus hingga saat ini. Perbandingannya, jika 120-an orang dengan flu burung, 80 persennya berakhir dengan kematian. Maka, dalam kasus infeksi oleh Methicillin Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA), 50 persen berakhir pada kematian.

Ke depan, jika kondisi ini berlarut, bakal tercipta zaman saat antibiotik tidak berfungsi lagi. Penyakit ringan seperti koreng atau bisul menjadi kronis karena tidak dapat diobati. Yang pasti, ongkos berobat bakal menjulang tinggi. Inilah saatnya generasi obat antibiotik terus memperbarui diri. Sesungguhnya obat antibiotik tetap diperlukan, tetapi di bawah pengawasan dokter. Masalah besarnya ada pada penertiban penjualan obat antibiotik liar yang harus dilakukan Departemen Kesehatan dan Badan Pengawasan Obat dan Makanan.

5 Cara Tepat

1. Minum antibiotik di bawah pengawasan dokter.
2. Minum resep antibiotik sampai habis, sesuai yang diresepkan.
3. Jangan minum resep antibiotik orang lain.
4. Jangan minta antibiotik jika dokter mendiagnosis Anda terserang penyakit yang disebabkan virus.
5. Tanya kepada dokter alasan pemberian antibiotik bila diberi resep obat jenis ini.(tempointeraktif)

No comments:

Post a Comment